Home » » Tari genjring bonyok

Tari genjring bonyok

Tari Genjring bonyok

Tari Genjring bonyok - hallo seniman jawa, kesempatan ini saya akan membagi sebuah artikel tentang tari genjring dari jawa barat, langsung baca ya ..



Genjring bonyok adalah jenis kesenian yang tumbuh dan berkembang di Kabupaten Subang. Alat musik utama yang dipergunakan adalah bedug dan genjring. Jenis kesenian ini mulai lahir dan berkembang di Kampung Bonyok, Desa Pangsor, Kecamatan Pagaden. Kesenian ini muncul karena terinspirasi atau perkembangan dari kesenian genjring Sholawat, Genjring Rudat dan adem ayem di pantura Indramayu. Seniman yang berperanan penting dalam mendirikan dan mengembangkan genjring bonyok adalah Talam dan Sutarja.

Asal usul dan Perkembangannya

Awalnya di Dusun Bunut, Desa Pangsor, Kecamatan Pagaden terdapat sebuah kelompok kesenian genjring sholawat yang bernama Sinar Harapan. Pada awal berdirinya kelompok kesenian ini dipimpin oleh Sajem (1960-1968). Kemudian mulai tahun 1968-1975 kepemimpinan Sinar Harapan diserahkan kepada Talam. Pada masa kepemimpinan Talam, yaitu sekitar tahun 1969, kelompok kesenian genjring ini mulai sangat jarang digunakan dalam hajatan-hajatan yang diadakan warga masyarakat. Hingga kemudian kelompok tersebut tidak pernah lagi mengadakan pertunjukkan.

Bergerak dari kondisi yang dialami kelompok Sinar Harapan, Sutarja sebagai salah satu anggotanya membuat inisiatif untuk menggunakan instrumen genjring dan bedug dalam suatu bentuk kesenian yang berbeda dari bentuk kesenian sebelumnya (genjring sholawat). Berbekal dengan instrumen musik yang dimiliki Sinar Harapan, Sutarja yang memperoleh dukungan dari Sajem dan Talam, mulai menciptakan bentuk kesenian genjring yang relatif baru yang kemudian dikenal dengan genjring bonyok.
.
Menurut Sutarja, proses pembentukan genjring bonyok tersebut dimulai dengan pengadopsian instrumen musik tarompet yang telah umum dipergunakan dalam kesenian tradisi Sunda di Kabupaten Subang. Hal ini ditandai dengan bergabungnya Taslim (mantan seniman Sisingaan) ke dalam kelompok Sinar Harapan. Pengadopsi instrumen musik tarompet ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi lagu yang lebih beragam, dan telah dikenal masyarakat dari kesenian tradisi Sunda yang lain.

Pertunjukan pertama kelompok Sinar Harapan dengan bentuk kesenian genjring yang relatif baru ini, dilakukan pada acara khitanan keluarga Rusmin, di Desa Sumur Gintung (sebelah Selatan Cidadap) pada tahun 1969. Sesuai dengan pola berkesenian masyarakat setempat pada masa itu, pertunjukan kesenian Genjring Sinar Harapan tersebut ditampilkan bersama-sama dengan kesenian gembyung, pencak silat, sisingaan, dan reog.

Pada tahun 1973, kelompok kesenian Sinar Harapan pindah ke Desa Cidadap. Hal ini disebabkan pindahnya Sutarja setelah ia menikahi gadis dari desa tersebut. Sejak kepindahannya itu pula kelompok Sinar Harapan yang semula dipimpin oleh Talam diserahkan kepada Sutarja. Pada saat pergantian kepemimpinankelompok Sinar Harapanpun secara resmi menjadi kelompok kesenian Genjring Bonyok dengan nama Sinar Pusaka.

Dalam perkembangan selanjutnya, setelah instrumen musik tarompet menjadi bagian dari pertunjukan genjring bonyok. Tahun 1975 kelompok ini kembali mengadopsi instrumen musik goong dan kecrek. Menurut Sutarja penambahan kedua instrumen musik ini disebabkan agar dalam penyajian musiknya terasa lebih enak didengar).

Kemudian kesenian ini semakin berkembang dengan dibentuknya grup-grup baru oleh anggota kelompok Sutarja. Selain itu Sutarja juga melatih sepuluh orang seniman yang berasal dari berbagai dusun dan desa di Kabupaten Subang.


Dari sepuluh orang seniman yang dilatih Sutarja, terdapat seniman yang berasal dari dusun Bonyok, Desa Pangsor yang bernama Rasita, yang kemudian membentuk grup di dusun Bonyok. Melalui kelompok genjring bonyok yang dipimpin oleh Rasita dari Dusun Bonyok, kesenian ini pun mulai berkembang pesat dan dikenai masyarakat di luar dari Kecamatan Pagaden. Dengan demikian selain dari kelompok Sinar Pusaka, masyarakat pun mulai menyukai kelompok genjring bonyok yang dipimpin Rasita. Sejak itu genjring goyok banyak ditanggap warga.

Seiring dengan dikenalnya bentuk kesenian genjring ini, istilah-istilah yang ditujukan kepadanya pun mulai berkembang di masyarakat. Pada awalnya kesenian ini disebut dengan nama genjring ronyok. Menurut Sutarja istilah ini diberikan karena jika kesenian genjring tersebut disajikan, hampir seluruh arena penyajiannya dipenuhi oleh penonton yang menari dan mengikutinya. Sehingga fenomena kesenian tersebut memberi kesan meriah, yang dalam bahasa SUNDA disebut dengan ronyok (ngaronyok).http://www.kotasubang.com/3069/genjring-bonyok-asal-usul-dan-perkembangannya/

Kemudian mulai tahun 1977, istilah genjring ronyok mengalami perubahan menjadi genjring bonyok. Menurut Sutarja istilah ini muncul disebabkan kelompok genjring pimpinan Rasita dari Dusun Bonyok, lebih sering melakukan pertunjukan di dalam maupun di luar Kecamatan Pagaden. Sehingga melalui kelompok Rasita dari Desa Bonyok inilah, masyarakat luas lebih mengenal kesenian ini dengan sebutan genjring bonyok.’

Fenomena perkembangan yang pesat dari kesenian genjring bonyok dapat dilihat dari data statistik kesenian Kabupaten Subang tahun 1996-1997, yang menunjukkan adanya lebih dari 50 kelompok kesenian genjring bonyok yang tersebar di berbagai tempat di Kabupaten Subang.

 
Genjring bonyok sudah banyak dipentaskan di berbagai even antara lain
– 1971 mengadakan pertunjukan di gedung Rumentang Siang Bandung,
– 1977 mengikuti festival Genjring Bonyok se Jawa Barat yang diikuti oleh 24 kelompok
kesenian genjring bonyok.
– 1978 mengadakan pagelaran di GOR Saparua Bandung,
– 1979 pagelaran di gedung gubernur Jawa Barat (Gedung Sate), diikuti oleh 3 kelompok kesenian dari 3 kabupaten.
– 1980 pagelaran pada acara HUT Kabupaten Subang,
– 1985 mengadakan pagelaran di TMII anjungan Jawa Barat, dan kesenian ini mulai ditampilkan di TVRI Jakarta.
– Tanggal 17 Agustus 1989 mengadakan pagelaran di lapangan Gasibu Bandung, pada acara gelar senja dengan memasukkan penari dari siswa sekolah.
– Tanggal 1 Oktober 1989 mengisi Pembukaan Pameran Kabupaten Subang. Dengan demikian pagelaran genjring bonyok tidak hanya tampil pada acara hajatan saja, namun bisa pentas pada acara-acara resmi baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah.

Namun sekitar tahun 2000an kesenian ini mulai berganti dengan kesenian lainnya, yaitu tardug, yang merupakan pengembangan dari kesenian Genjring Bonyok dengan penambahan instrumen lainnya seperti gitar.

Pertunjukan dan Penyajian Genjring Bonyok

Beberapa unsur yang penting dan menunjang pergelaran kesenian ini yakni waditra (alat musik), nayaga (penabuh alat musik), dan juru kawih (sinden), penari serta busana. Waditra atau alat musik seperti sebuah bedug berfungsi mengatur ketukan, dipukul dengan cara tertentu untuk membuat bunyi yang enak. Tiga buah genjring berfungsi membuat irama yang bersahutan dan mengimbangi alat musik lainnya. Sebuah gendang berfungsi mengatur irama dan memberi tekanan musik. Sebuah kulanter berfungsi mengikuti irama. sebuah goong besar berfungsi untuk menutup akhir irama. Sebuah goong kecil berfungsi untuk mengisi irama. Sebuah terompet berfungsi untuk membawakan melodi. Dua buah kenong berfungsi untuk mengimbangi irama. Sebuah kecrek berfungsi untuk mempertegas dan mengatur irama.

Nayaga (penabuh alat musik)
Pada saat pertunjukan di atas panggung, nayaga mengambil posisi duduk, sinden duduk paling depan, dan diikuti oleh peniup terompet yang sejajar dengan penabuh gendang, dan penabuh kecrek. Baris selanjutnya penabuh genjring dan penabuh ketuk. dan di belakangnya penabuh bedug dan penabuh goong. Kalau memakai penari biasanya posisi berada di depan sinden. Biasanya kesenian ini dipentaskan bersamaan dengan kesenian lain seperti sisingaan. Genjring bonyok berada di posisi belakang, setelah kesenian sisingaan.

Juru kawih (sinden)
Lagu-lagu yang biasa dinyanyikan dalam pergelaran adalah lagu-lagu ketuk tilu seperti gotrok, kangsreng, awi ngarambat, buah kawung, dan torondol.

Penari
Penari pada saat tertentu memakai para penari khusus, yang sesuai dengan koreografi. Sedangkan pada saat mengadakan helaran para penari terdiri dari masyarakat yang ikut menari secara spontan, untuk ikut memeriahkan helaran.

Busana
Busana yang dipakai oleh personil genjring bonyok yakni nayaga memakai baju kampret, celana pangsi, iket (barangbang semplak, parekos nangka), selendang (sarung). Juru kawih(sinden) mengenakan kebaya, selendang, sanggul, dan hiasan dari bunga melati. Penari laki-laki mengenakan baju kampret, celana pangsi, iket dan selendang. Sedangkan penari perempuan mengenakan kebaya, selendang dan sanggul.

Tempat pertunjukan
Secara umum tempat pertunjukan genjring bonyok terbagi ke dalam dua bagian , yaitu di jalan raya dan di atas panggung. Pertunjukan di jalan raya , dilakukan apabila genjring bonyok disajikan dalam suatu arak-arakan. Dalam pertunjukkan ini dilakukan sambil berjalan kaki keliling kampung. Pertunjukkan dudukan dilakukan di atas panggung acara. 

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.